IT 102 By: Craig Groeschel
(Part one: What is It? – Chapter Two: Some have it, some lack it.
Image by Hands off my tags! Michael Gaida from Pixabay |
A book review & reflection by Lukas Onggo Wijaya
“As I said earlier, I had no idea what it was,
but I could feel its absence. And, I figured,
if that beautiful, majestic church didn’t have it, what hope did I have of finding
it in any other church?” (Page 21)
“As I reflect on the experience now, I can
still remember it vividly. No one was
friendly (at least no to an outsider).
No one smiled. Only a few people
sang. No one told me they were glad I came.
No one seemed excited about anything.
Even when the service was over, no one invited me back. It was as if the church had died years ago, but
no one has noticed.” (Page 21-22)
“After just a few minutes talking together,
they invited me to come to church with them – the same night. Like me, most of them had just come from
church. How could someone possibly want
to go to church twice in one day?
And yet wanted to go. I found later, the reason was that their church
had it.
Inside, nothing about this building was
special. And even if there had been
something worth noticing, I would have missed it because of all the people.
They… were… everywhere…
And it was loud. It was lke a happening night club with a
party atmosphere. And that was just the
lobby. But instead of immorality, smoking,
and alcohol, I found warm smiles, loving hugs, and bibles everywhere. The room was electric. The fire marshal probably would have stroke I
he had seen it”
Something special was about to happen. Everyone there knew it. They weren’t just anticipating it, they were
positively expecting it. Of course, I had
no idea what to expect when I agreed to come, but now I was expecting it
too. Even I knew something was going to
happen. (Page 22-23)
“People there loved God, and they were ecstatic
to have the opportunity to express their hearts. Some cried.
Some lifted their hands. (What’s
that about? I wondered). Some knelt in prayer.
As the preacher begins to speak, people leaned
in, listening intently, as if every word mattered. His words pierced my heart, as though he were
speaking directly to me. To this day,
more than twenty years later, I remember certain detalis of that message. His message impacted me. Through it all, God impacted me.” (Page 24)
“Beatiful buildings, cool environments, and the
right technology aren’t necessary to have it.”
(Page 25)
“A person surrender fully to Christ get
it. And once a person has it, he can’t
keep it to himself.” (Page 25)
Fasilitas terbaik tentu penting untuk dimiliki oleh sebuah gereja. Namun fasilitas bukanlah hal yang terpenting. Kehadiran Tuhan yang terlihat dan terasa sangat nyata itulah yang paling penting.
Karena “IT”, yang kita bisa
terjemahkan sebagai “kegerakan Allah / kebangunan rohani) sangat tergantung
kepada kehadiran Tuhan, bukan karena hal-hal lain.
Namun tentu, sebagai sebuah gereja
kita perlu mempersiapkan jalan bagi Tuhan.
Menjadi seperti Yohanes Pembaptis, yang bertugas untuk mempersiapkan
orang-orang untuk bertemu dan mengalami Tuhan secara langsung.
Saya selalu berkata, gereja bukanlah restoran. Namun gambaran restoran mungkin dapat kita pakai sebagai ilustrasi dalam masalah ini.
Sebuah restoran dapat memiliki
gedung dan fasilitas terbaik, makanan yang sangat enak, dan terobosan-terobosan
terbaru. Meskipun awalnya restoran ini bisa saja menjadi
ramai pengunjung, namun pada akhirnya bisa menjadi sangat sepi – kalau karakter
ramah pengunjung dan fasilitas tidak dijaga untuk terus berkualitas baik.
· Jika pelayan restoran tidak
ramah, bahkan bersikap merendahkan?
· Jika fasilitas kamar kecil
atau lainnya menjadi sangat kotor dan tidak terawat?
· Jika piring dan gelas sudah
pecah atau retak, namun masih dipakai?
Akan sangat sulit untuk restoran ini terus ramai dan
akan menjadi sepi, karena tidak terlihat seperti menghargai dan menghormati
pelanggan!
Atau dalam konteks sebagai gereja,
seperti tidak mengagungkan dan menghormati Tuhan kalau kita tidak mempersiapkan
semua dengan baik.
Karena, sekali lagi gereja bukanlah restoran.
Customer satu-satunya gereja adalah Tuhan! Setiap kita adalah pelayan.
Yang disajikan adalah hidup
yang menghormati Tuhan, bukan hanya sekedar musik yang bagus, khotbah yang
lucu, atau penyambut tamu yang sangat ramah.
Namun, saya sangat bahwa setuju 3 point ini sangat penting untuk setiap gereja persiapkan dengan baik:
1.
Penerimaan yang ramah,
2.
Pujian penyembahan yang menyentuh,
3.
Khotbah yang memberikan inspirasi.
Mari kita persiapkan 3 point ini dengan sebaik-baiknya
setiap minggu, bukan untuk membuat manusia terkesan; melainkan untuk membuat
Tuhan terkesan. Bahwa betapa seriusnya
kita untuk “mempersiapkan jalan” bagi Tuhan hadir dan bekerja di dalam gereja
kita.
Namun, kita perlu selalu sadar, bahwa yang Tuhan mau
bukan sekedar skill terbaik kita; melainkan hati kita yang penuh syukur dan
rendah hati!
Karena pada akhirnya keadaan hati kita lah
yang membuat Tuhan hadir dan bekerja dengan dahsyat, bukan karya tangan kita!
Baca juga: IT 101
Tidak ada komentar:
Posting Komentar